Monday, January 17, 2011

Masjid Teungku Di Anjong


Pernahkah Anda ke daerah Gampong Pandee di Kecamatan Kutaraja? Menurut wawancara singkat dengan warga setempat, Kawasan ini merupakan lokasi Istana Raja dan Pelabuhan Internasional, dimana pada 1926 Istana dipindahkan dari Gampong Pandee ke Daruddunia, lokasi keratin sekarang, atau 6 km dari Muara Krueng Aceh) karena gelombang laut. Pada Desember 2004 lalu atau tepatnya pada bencana Gempa Bumi dan Tsunami 26 Desember lalu, gelombang juga pecah atau terhenti di lokasi ini.

"Tugu yang menandakan kalau daerah ini pernah mengalami musibah Tsunami"

Apa yang menarik di kawasan ini? Ada sebuah komplek warisan yang sebenarnya patut kita lestarikan. Komplek itu terdiri dari sebuah Masjid tua berikut Makam dari sang tokoh. Sayyid Abubakar bin Husen Bafaqih, beliau merupakan seorang ulama dari negeri Arab yang mengembara untuk mendakwahkan Islam, Oleh sebab itulah beliau mendapatkan gelar Teungku di Anjong dan dianggap sebagai Orang Keramat. Begitulah kira-kira pesan yang tertulis di prasasti yang terdapat di depan bangunan makam beliau. Beliaulah yang mendirikan Masjid Tengku di Anjong ini pada abad ke 18, dan disebelah kiri Masjid tersebut, terdapat bangunan Makam beliau dan juga istrinya.

Bangunan Masjid ini dulunya adalah sebuah Masjid yang bermaterial Kayu, namun seiring dengan perkembangan zaman, sekiranya material-material kayu tersebut dirasa sudah tidak layak lagi untuk menopang bangunan Masjid tersebut sehingga pada 2009 lalu telah resmi ‘menjelma’ menjadi bangunan Masjid baru yang bermaterial bata. Ironis memang, tapi renovasi ini lebih baik bukan? Pastinya renovasi ini jauh lebih baik daripada membiarkan bangunan bersejarah ini hancur dan roboh. Satu hal yang dipertahankan dari renovasi ini yaitu bentuk asli masjid yang tidak berubah walaupun telah berganti material. Ya, bentuk khas ala masjid-masjid Jawa dengan bentuk atap yang bertingkat-tingkat ini masih tetap dipertahankan pada renovasi Masjid ini.

Dominasi warna putih yang digunakan untuk Masjid ini ditambah dengan kombinasi hijau yang digunakan untuk warna atap dan kusen serta jendelanya membuat Masjid ini jadi terasa seperti masjid yang benar-benar baru. Padahal kita tau kalau masjid ini sejatinya dibangun pada abad ke 18. Satu-satunya kesan antik yang ditimbulkan dari komplek ini hanya bangunan makam dan juga pemakaman yang ada di komplek tersebut.

"Bangunan Makam yang berada tepat disamping Masjid"


"Pemakaman yang berada di kompleks Masjid"

Balutan batu alam juga menghiasi kolom-kolom teras di Masjid ini, Kolom-kolom putih yang ada pada bagian dalam Masjid ini tampak begitu kokoh dengan tambahan-tambahan ornament khas yang ada pada bagian bawahnya. Menurut saya, kolom ini juga baru karena kolom yang lama pastilah terbuat dari kayu. Tapi narasumber yang saya wawancara juga kurang mengetahui jelasnya proses perubahan masjid ini. Pada bagian dalam mesjid, pada bagian kiri dan kanannya sedikit rendah karena plafon yang miring,

Sebenarnya ingin saya melihat bangunan asli dari masjid ini, bangunan yang masih bermaterial kayu yang menutupi seluruh bangunan ini, hanya sebagai perbandingan dari 2 masa berbeda yang pernah ditempuh dari masjid ini. Sebuah saksi sejarah pada masa berkembangnya Islam di bumi Serambi Mekkah.

"Tugas Apresiasi Arsitektur"

4 comments:

Anonymous said...

menarik nih tulisan, cocok untuk didokumentasikan :)

Unknown said...

Salah satu tugas kampus yang sayang kalo cuma 'teronggok' di folder laptop. Mending di post disini. Semoga tulisannya bermanfaat. :)

Aulia said...

oiya, bentuk atap seperti itu kalau setahu saya sih itu memang khas Aceh, bukan punya jawa atau daerah lain, toh mesjid kuno di Indrapuri dulu dan mesjid raya jauh sebelum mempunyai kubah seperti itu beratap tumpang.

Ini tulisannya yg pernah saya tulisa "Peninggalan Hindu di Mesjid Tua Indrapuri" http://t.co/h9CO42r

Unknown said...

Nah, imo Bentuk atap seperti ini emang bukan murni dari aceh melainkan peninggalan hindu, seperti kita lihat di pura2 yang beratap timpang. Aceh sendiri bentuk atapnya lebih simpel ke bentuk atap pelana seperti bangunan rumah aceh yang sering diadaptasikan ke bangunan2 di aceh seperti Kantor Gubernur, dsb.

Kalo Masjid Indrapuri dan masjid Raya memenag lebih besar pengaruhnya dari luar sih bang, Indrapuri memang hindu, dan Masjid raya aroma Eropa-nya kental sekali walau sudah dimodifikasi sedemikian rupa hingga ke bentuk yang sekarang ini, sudah terasa sekali lokalitasnya disana :)

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...